KMK TENTANG STANDAR PROFESI APOTEKER
Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan melaksanakan ketentuan Pasal Pasal 66 66 ayat ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK
Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang
Standar Profesi Apoteker bahwa maksud diterbitkannya aturan ini adalah: a) Sebagai
pedoman bagi Apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian yang terukur, terstandar
dan berkualitas di fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian;
b) Tersusunnya Tersusunnya Standar Kompetensi Apoteker Apoteker sebagai bagian
dari Standar Profesi Apoteker.
Sedangankan tujuannnya
adalah: a) Sebagai referensi dalam penyusunan kewenangan Apoteker untuk menjalankan
praktik di fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian; b) Sebagai
referensi dalam dalam penyusunan kurikulum pendidikan profesi Apoteker.; c) Sebagai
referensi dalam penyelenggaraan program pengembangan pengembangan keprofesian Apoteker.
Diktum KESATU Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK
Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang
Standar Profesi Apoteker menyatakan Standar profesi Apoteker terdiri atas: a)
standar kompetensi; dan b) kode etik profesi.
Diktum KEDUA Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor:
HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker menyatakan mengesahkan
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf a sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri
ini.
Diktum KETIGA Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK
Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang
Standar Profesi Apoteker menyatakan bahwa Kode etik profesi profesi sebagaimana
sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf b ditetapkan oleh organisasi
profesi.
Diktum KEEMPAT Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK
Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang
Standar Profesi Apoteker menyatakan bahwa Keputusan Keputusan Menteri ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan yakni 6 Januari 2023.
Salah satu tantangan
pembangunan kesehatan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai
salah satu unsur kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah berbagai masalah kesehatan yang belum sepenuhnya
dapat diatasi. Saat ini kita masih menghadapi beberapa isu serius diantaranya
penyakit infeksi yang belum sepenuhnya dapat dikendalikan sehingga
prevalensinya masih tinggi diantaranya sekitar 2,6 juta (1,68%) ibu hamil
positif Hepatitis B, Tuberkulosis 351.936 kasus, Demam Berdarah Dengue (DBD) 108.303
kasus. Beberapa penyakit infeksi masih menunjukkan peningkatan diantaranya
kasus suspek Pneumonia pada balita meningkat dari 10% di tahun 2010 menjadi
34,8% menjadi 34,8% di tahun 2020.
Di sisi lain penyakit tidak
menular (degeneratif) semakin meningkat dan kompleks. Data tahun 2020 menunjukkan
prevalensi pengidap Diabetes Mellitus (DM) meningkat 6,2% (lebih dari 10,8 juta
penduduk mengidap DM) dan sekitar 35,23% penduduk diperkirakan menderita Hipertensi.
Masalah lain adalah potensi kembalinya
penyakit yang sebelumnya telah terkendali (infeksi re-emerging) terlihat dari Kejadian
Luar Biasa (KLB) Hepatistis A yang masih terjadi setiap tahun dan adanya Diare
endemis masih berpotensi KLB. Adanya Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang
sampai saat ini masih berstatus pandemik. berstatus pandemik.
Penatalaksanaan berbagai
penyakit tersebut membutuhkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam jumlah dan
jenis yang cukup, baik untuk diagnostik, mengatasi penyebab penyakit, upaya pencegahan,
maupun untuk mengendalikan faktor risiko agar tidak meningkat ke komplikasi.
Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2021 menunjukkan peningkatan
ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan. Selama tahun 2016-2021 sebanyak 21.577
produk obat, 15.005 produk obat tradisional, dan 219.077 produk kosmetik memperoleh
izin edar. Dalam 3 bulan terakhir tahun 2021 ada 961 produk obat, 1.065 produk
obat tradisional, dan 23.537 produk kosmetik, dan 6.638 alat kesehatan yang
memperoleh izin edar.
Peningkatan jumlah dan jenis
sediaan farmasi dan alat kesehatan tersebut sejalan dengan peningkatan jumlah dan
jenis fasilitas kefarmasian, baik fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan
kefarmasian. Jumlah rumah sakit di Indonesia dari tahun 2016-2020 meningkat sebesar
12,86%. Pada tahun 2020 terdapat 2985 rumah sakit, 10.203 puskesmas, 4.095
sarana produksi, dan 45.775 sarana distribusi kefarmasian, termasuk 30.199
apotek.
Peningkatan kebutuhan sediaan
farmasi dan alat kesehatan serta perkembangan fasilitas pelayanan kefarmasian
meningkatkan kebutuhan tenaga kesehatan khususnya Apoteker yang memiliki
kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian yaitu pembuatan, termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Di sisi lain pesatnya perkembangan
teknologi informasi meningkatkan kemampuan penerima pelayanan kefarmasian untuk
memperoleh berbagai informasi yang mendorong perubahan gaya hidup dan persepsi
penerima pelayanan kefarmasian tentang obat-obatan dan sediaan farmasi lainnya.
Perkembangan ini mendorong penerima pelayanan kefarmasian untuk melakukan pengobatan
mandiri (swamedikasi). Peningkatan ketersediaan media komunikasi informasi ini
memberikan keleluasaan akses informasi tanpa batas para penerima pelayanan
kefarmasian, termasuk keleluasaan untuk mendapatkan obat. Namun informasi
maupun produk yang diterima oleh penerima pelayanan kefarmasian tidak selalu akurat
dan berkualitas sehingga pengobatan yang dilakukan kurang tepat. Agar tepat
guna serta terjaga keamanannya upaya pengobatan mandiri yang dilakukan oleh penerima
pelayanan kefarmasian perlu pendampingan dari Apoteker.
Ketersediaan Apoteker saat ini
dapat dilihat dalam data Komite Farmasi Nasional. Pada tahun 2021 terdapat
7.360 Apoteker baru yang lulus dari pendidikan, total Apoteker yang memiliki
Surat Tanda lulus dari Apoteker (STRA) sebanyak 95.384 tersebar di berbagai bidang
praktik kefarmasian. Data sebaran Apoteker di tahun 2020 menunjukkan 13.221
Apoteker berada di rumah sakit (memenuhi 96,65% dari kebutuhan minimal untuk
rawat inap), Apoteker di puskesmas baru sekitar 58,12% dari kebutuhan minimal,
dan baru 30% puskesmas yang telah memiliki dari Apoteker. Saat ini rasio
Apoteker terhadap penduduk di Indonesia baru mencapai 0,68 per 2.000 penduduk,
masih di bawah standar World Health Organization (WHO) (1: 2.000).
Kebutuhan Apoteker ini
seharusnya bisa dipenuhi oleh pendidikan farmasi di Indonesia. Salah satu
masalah yang dihadapi dunia pendidikan farmasi di Indonesia adalah sampai akhir
tahun 2021 baru 52 dari 213 institusi yang memiliki prodi S1 Farmasi
terakreditasi Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes)
yang mampu menyelenggarakan pendidikan profesi Apoteker. Kondisi ini
menyebabkan variasi mutu pada penerimaan calon mahasiswa pendidikan profesi
Apoteker yang berdampak pada variasi mutu lulusan.
Meningkatnya kebutuhan pelayanan
kefarmasian, luasnya lingkup praktik profesi Apoteker, variasi mutu lulusan pendidikan
profesi Apoteker, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian menegaskan perlunya standar kompetensi yang memuat batasan minimal pengetahuan,
keterampilan, sikap dan perilaku yang harus dikuasai oleh seorang Apoteker.
Penetapan standar kompetensi ini diharapkan menjadi pendorong bagi perguruan tinggi
untuk diharapkan meningkatkan mutu pendidikan agar lulusan yang dihasilkan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Manfaat diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker adalah sebagai berikut 1) Bagi Apoteker adalah Sebagai pedoman bagi Apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian, alat untuk mengukur kemampuan diri, serta pendorong untuk terus melakukan upaya peningkatan diri (life-long learner). 2) Bagi Institusi Pendidikan adalah sebagai acuan dalam penyusunan kurikulum dan pengembangan pengajaran, mendorong konsistensi dalam menyelenggarakan pendidikan, serta penetapan kriteria pengujian dan instrumen/ alat ukur pengujian. 3) Bagi Pemerintah/Pengguna adalah sebagai acuan dalam perencanaan pegawai, rekrutmen dan seleksi pegawai, pengangkatan/penempatan dalam jabatan, penilaian kinerja, remunerasi/insentif dan disinsentif, serta kebutuhan pendidikan dan pelatihan dalam memenuhi peningkatan/pengembangan kompetensi Apoteker. 4) Bagi Organisasi Profesi adalah sebagai acuan dalam pengaturan keanggotaan, tata kelola organisasi, pelaksanaan program pengembangan keprofesian berkelanjutan, serta penilaian kompetensi Apoteker lulusan luar negeri. 5) Bagi Masyarakat adalah tersedianya acuan untuk mendapatkan karakteristik profesi Apoteker yang dapat memenuhi kebutuhan praktik kefarmasian.
Selengkapnya silahkan
download dan baca Keputusan Menteri
Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker. LINK DOWNLOAD DISINI
Demikian informasi tentang Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK
Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang
Standar Profesi Apoteker. Semoga ada manfaatnya.
No comments
Post a Comment