Apa dan bagaimana Kepemimpinan Murid dan Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid ? Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan agar dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid, guru harus secara sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran yan mampu memekarkan murid berkembang sesuai dengan kodratnya. Oleh karena itu, saat guru merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Apa
yang dimaksud Kepemimpinan Murid ? Murid-murid kita harus dapat melakukan lebih
dari sekedar menerima instruksi dari guru. Murid secara alami adalah seorang pengamat,
penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin tahu atau minat terhadap berbagai
hal. melalui rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang
lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman
tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih
luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas
untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri.
Agar kita dapat menjadikan murid sebagai pemimpin bagi proses pembelajarannya sendiri, maka kita perlu memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan kapasitasnya dalam mengelola pembelajaran mereka sendiri, sehingga potensi kepemimpinannya dapat berkembang dengan baik. Peran kita adalah: 1) Mendampingi murid agar pengembangan potensi kepemimpinan mereka tetap sesuai dengan kodrat, konteks dan kebutuhannya; 2) Mengurangi kontrol kita terhadap mereka.
Saat
murid memiliki kontrol atas apa yang terjadi, atau merasa bahwa mereka dapat
mempengaruhi sebuah situasi inilah, maka murid akan memiliki apa yang disebut
dengan “agency”. Agency dapat diartikan sebagai
kapasitas seseorang untuk mempengaruhi fungsi dirinya dan arah jalannya peristiwa
melalui tindakan-tindakan yang dibuatnya. Albert Bandura dalam artikelnya, Toward a Psychology
of Human Agency (2006) mengatakan, bahwa menjadi seorang agent (seseorang yang memiliki
agency) berarti orang tersebut secara sengaja mempengaruhi fungsi dan keadaan
hidup dirinya. Dalam pandangan ini, pengaruh pribadi merupakan bagian dari
struktur kausal.
Orang-orang
sebenarnya dapat mengatur diri sendiri, bersikap proaktif, meregulasi diri
sendiri, dan merefleksikan diri. Mereka bukan hanya dapat menjadi penonton dari
perilaku mereka sendiri, tetapi adalah kontributor untuk keadaan hidup mereka
sendiri.
Lebih
lanjut, dalam artikel yang sama Bandura juga mengatakan bahwa ada empat sifat
inti dari human agency, yang dalam modul ini kita singkat dengan akronim IVAR
untuk memudahkan mengingat, yaitu:
1.
I - Intensi = Kesengajaan (intentionality). Seseorang yang memiliki agency
bukan hanya memiliki sekedar niat, tetapi di dalam niat mereka sudah termasuk rencana
tindakan dan strategi untuk mewujudkannya. Orang yang memiliki agency akan memahami
bahwa dalam mewujudkan niatnya, ia juga harus mempertimbangkan keinginan pihak
lain, sehingga berupaya untuk menemukan niatan bersama dan mengelola kesaling-tergantungan
rencana.
2.
V - Visi = Pemikiran ke depan (forethought). Pemikiran ke depan di sini bukan
hanya sekedar rencana yang mengarahkan masa depan. Mereka yang berpikiran ke depan
menjadikan visi (representasi kognitif dari visualisasi masa depan) sebagai
pemandu dan memotivasi tindakan-tindakan mereka saat ini. Hal ini membuat mereka
menjadi individu yang bersemangat dan bertujuan.
3.
A - Aksi = Kereaktifan-diri (self-reactiveness). Seseorang yang memiliki
agency, bukan hanya seorang perencana dan pemikir ke depan. Mereka juga seorang
pengendali diri (self-regulator). Setelah memiliki niat dan rencana, ia tidak akan
duduk diam dan menunggu. Mereka memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi aksi atau
tindakan yang tepat dan untuk memotivasi serta mengatur eksekusinya.
4.
R - Refleksi = Kereflektifan-diri (self-reflectiveness). Seseorang yang
memiliki agency akan memiliki kesadaran yang baik akan fungsi dirinya. Mereka
akan melakukan refleksi terhadap efikasi dirinya, kecemerlangan dan ketepatan pikiran
dan tindakannya, dan kebermaknaan dari upaya yang mereka lakukan dalam pencapaian
tujuan, serta akan melakukan perbaikan jika diperlukan. Kemampuan metakognitif untuk
melakukan refleksi diri sendiri dan kecukupan pemikiran dan tindakan seseorang
adalah sifat yang paling jelas dari orang yang memiliki agency.
Murid
mendemonstrasikan “student agency” ketika mereka mampu mengarahkan pembelajaran
mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan
dan mengungkapkan rasa ingin tahu, berpartisipasi dan berkontribusi pada komunitas
belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka kepada orang lain, dan melakukan
tindakan nyata sebagai hasil proses belajarnya.
Student agency
dapat dimaknai sebagai kepemimpinan murid. Jika kita
mengacu pada OECD (2019:5), pengertian kepemimpinan murid berkaitan dengan pengembangan identitas
dan rasa memiliki. Ketika murid mengembangkan agency, mereka mengandalkan
motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset (pemahaman bahwa kemampuan
dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi diri mereka menuju
kesejahteraan lahir batin (wellbeing). Hal inilah yang kemudian memungkinkan
mereka untuk bertindak dengan memiliki tujuan, yang membimbing mereka untuk
berkembang di masyarakat.
Konsep
kepemimpinan murid sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan
dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia
di sekitar mereka. Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan
tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan
perubahan. Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif,
dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya
sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain. Ketika murid menunjukkan agency
dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan
apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan
motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan
belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara alamiah mempelajari keterampilan belajar (belajar
bagaimana belajar). Keterampilan belajar ini adalah sebuah keterampilan yang
sangat penting, yang dapat dan akan mereka gunakan sepanjang hidup mereka dan bukan
hanya untuk saat ini.
Saat
murid menjadi pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran
mereka sendiri, maka hubungan yang tercipta antara guru dengan murid akan
mengalami perubahan, karena hubungannya akan menjadi bersifat kemitraan. Dalam
hubungan yang bersifat kemitraan ini, saat murid belajar mereka akan: a) berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran
yang ingin dicapainya; b) menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran;
c) menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran; d) menunjukkan rasa
ingin tahu - menunjukkan inisiatif; e) membuat pilihan-pilihan tindakan; f) memberikan
umpan balik kepada satu sama lain.
Di
sisi lain, guru yang akan mengambil peranan sebagai mitra murid dalam belajar
akan: a) berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati, dan menanggapi ide-ide,
pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif murid-murid mereka; b) memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid
mereka untuk memastikan proses pembelajaran sesuai untuk mereka; c) mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka
dengan memberi mereka tugas-tugas terbuka; d) menawarkan kesempatan kepada murid
untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil risiko; f) mempertimbangkan sejauh mana
tingkat bantuan yang harus diberikan kepada murid berdasarkan informasi yang
mereka miliki; g) menunjukkan minat dan
keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap aktivitas murid untuk
memperluas pemikiran mereka.
Dengan
demikian konsep kepemimpinan murid memiliki makna a) kepemimpinan murid
mengandung makna murid mengambil kepemilikan dan tanggung jawab atas proses pembelajaran
mereka sendiri; b) kepemimpinan murid mengandung makna murid memiliki suara dan
pilihan atas apa yang akan mereka pelajari, bagaimana mereka belajar dan mengorganisir
pembelajaran mereka; c) kepemimpinan murid mengandung makna murid dapat memilih
arah dan cara mencapai tujuan pembelajaran sendiri; d) kepemimpinan murid
mengandung makna sesuatu yang dapat kita dorong
Bagaimana
Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan
Murid? Saat murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri
(atau kita katakan: saat murid memiliki agency, maka mereka sebenarnya memiliki
suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran
mereka. Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid kemudian
mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya
sendiri. Tugas kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang
menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam
apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan
niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka.
Apa
dan bagaimana yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid?
1.
Suara (voice)
Ketika kita berbicara
tentang “suara” murid, maka kita sebenarnya bukan hanya berbicara tentang memberi
murid kesempatan untuk mengomunikasikan ide dan pendapat.
Voice (suara) adalah
pandangan, perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui partisipasi aktif mereka di kelas, sekolah, komunitas,
dan sistem pendidikan mereka, yang berkontribusi pada proses pengambilan keputusan
dan secara kolektif mempengaruhi hasilnya.
Mempertimbangkan suara
murid adalah tentang bagaimana kita memberdayakan murid kita agar memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi perubahan. Suara murid yang otentik memberikan kesempatan
bagi murid untuk berkolaborasi dan membuat keputusan dengan orang dewasa seputar
apa dan bagaimana mereka belajar dan bagaimana pembelajaran mereka dinilai.
Mempromosikan suara murid
dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam banyak cara. Suara murid dapat
ditumbuhkan melalui diskusi, membuka ruang ekspresi kreatif, memberi pendapat, merelevansikan
pembelajaran secara pribadi, dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa contoh
bagaimana sekolah atau guru dapat mempromosikan “suara murid”: a) Membangun
budaya saling mendengarkan; b) Membangun kepercayaan diri murid agar mereka percaya
bahwa setiap suara berharga dan layak didengar; c) Melibatkan murid dalam
memberikan umpan balik terhadap proses belajar yang telah dilakukan; d)
Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap berbagai program dan
kebijakan-kebijakan sekolah; e) Melibatkan murid dalam perencanaan
pembelajaran; f) Melibatkan murid dalam menyusun kriteria penilaian; g)
Memberikan kesempatan murid untuk bertanya, memberikan pendapat, berdiskusi
dalam berbagai kesempatan dan proses pembelajaran; h) Mengajak murid untuk
mendiskusikan keyakinan kelas dan membuat kesepakatan kelas; i) Membentuk dewan
murid atau komite-komite yang anggotanya adalah murid-murid untuk memberikan masukan
kepada sekolah terhadap berbagai elemen sekolah lainnya (misalnya lingkungan,
fasilitas, kegiatan, kantin, seragam); j) Melibatkan murid untuk memberikan saran tentang
alat permainan apa yang mereka inginkan ada di halaman sekolah; k) Memberikan
kesempatan murid untuk memberi saran terkait menu yang di jual kantin; l) Membuat
kotak saran untuk murid memberikan saran dan masukan tentang sekolah; m)
Melakukan kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Mengidentifikasi masalah atau persoalan
yang terjadi dalam dunia nyata yang menarik bagi murid dan kemudian memberi
kesempatan mereka untuk bekerja sama dan bertukar pikiran tentang strategi dan
solusi untuk permasalahan tersebut; n) Membuat blog murid dan majalah dinding untuk
menyuarakan aspirasi dan kreativitas murid.
2.
Pilihan (Choice)
Pilihan (choice) adalah
peluang yang diberikan kepada murid untuk memilih kesempatan-kesempatan dalam ranah
sosial, lingkungan, dan pembelajaran. Dalam ranah sosial, murid dapat diberikan
kesempatan untuk berada dalam kelompok yang sesuai dengan tujuan atau minatnya;
dalam ranah lingkungan, murid dapat diberikan
kesempatan untuk memilih atau mengatur tempat belajar yang sesuai untuk mereka.
Dalam ranah lingkungan, murid diberikan kesempatan untuk memilih lingkungan belajar
yang paling mendukung untuk mereka belajar secara maksimal. Sementara dalam ranah
pembelajaran, murid diberikan pilihan-pilihan untuk mengakses, berlatih, atau
membuktikan penguasaan pengetahuan atau keterampilan dalam kurikulum.
Aiken et al (2016) dalam
Thibodeaux et al. (2019), menyimpulkan bahwa memberi pilihan akan memberdayakan
murid, mendorong keterlibatan, dan mempromosikan minat dalam pengalaman belajar.
Selain itu, memberi peserta didik pilihan dan kepemilikan mensyaratkan bahwa
kontrol dalam proses pembelajaran harus diberikan juga kepada murid-murid
(Thibodeaux 2017; 2019).
Bandura (1997) juga menegaskan
bahwa memberikan murid pilihan juga akan meningkatkan motivasi dan otonomi murid,
yang dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid
(dalam Thibodeaux et al, 2019).
Bagaimana guru dapat memberikan murid-murid ‘pilihan’
dalam proses belajar mereka? Ada banyak cara yang dapat dilakukan. Berikut
ini adalah beberapa contoh bagaimana guru
dapat mendorong dan menyediakan “pilihan” bagi murid-muridnya: a) Membuka
cakrawala murid bahwa ada berbagai pilihan atau alternatif yang dapat dijadikan
bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah keputusan; b) Memberikan kesempatan
bagi murid untuk memilih bagaimana mereka mendemonstrasikan pemahamannya
tentang apa yang telah mereka pelajari; c) Memberikan kesempatan pada murid untuk
memilih peran yang dapat mereka ambil dalam sebuah kegiatan/program; d)
Memberikan murid kesempatan untuk memilih kelompok; e) Memberikan kesempatan
murid untuk mengelola pengaturan kegiatan; f) Menggunakan musyawarah untuk mengambil
keputusan, atau jika memang diperlukan melalui voting, untuk memprioritaskan
langkah tindakan atau aktivitas berikutnya. Misalnya saat ingin belajar tentang
topik tertentu, guru dapat mendiskusikan dan membuat daftar kegiatan apa saja
yang dapat mereka lakukan, kemudian meminta murid untuk memilih mana yang ingin
mereka lakukan lebih dulu; g) Mengajak OSIS membuat daftar kegiatan (event), dan
memberikan kesempatan untuk memilih mana kegiatan yang ingin mereka lakukan di dalam
satu tahun ajaran; h) Memberi kesempatan pada murid untuk menentukan sendiri
bentuk penugasan yang mereka inginkan; i) Memberikan kesempatan pada murid
untuk mempresentasikan hasil kerja/proyek sesuai dengan gaya , minat dan bakat
mereka; j) Memberikan kesempatan pada murid untuk menggali sumber-sumber belajar
sesuai minat mereka; k) memberikan kesempatan pada murid untuk mengevaluasi
pembelajarannya; l) memberikan kesempatan pada murid untuk menentukan rencana, jadwal
atau agenda dalam melaksanakan pembelajarannya.
3.
Kepemilikan (ownership)
Dalam pembahasan
sebelumnya, telah dijelaskan bahwa saat murid berada dalam kursi kemudi proses belajar
mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran mereka
sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajarnya.
Menurut
Duddley-Marling dan Searle yang dikutip oleh Rainer dan Mona dalam artikel yang
berjudul Ownership of Learning in Teacher Education (2002:27) bahwa kepemilikan
bukanlah sesuatu yang bisa diberikan, melainkan sesuatu yang berkembang dalam struktur
dan proses yang menyiratkan rasa hormat terhadap otonomi, kekuasaan, suara, dan
tanggung jawab kepada orang lain.
Dengan demikian kondisi-kondisi,
struktur, dan proses perlu dikembangkan agar guru mampu menciptakan proses
pembelajaran yang mendorong murid memiliki rasa kepemilikan. Beberapa hal yang
dapat dilakukan oleh guru adalah: a) Memberikan murid kesempatan untuk memilih beberapa
kegiatan yang mereka lakukan (misalnya memilih topik untuk dilaporkan); b)
Memberikan kesempatan murid berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum (misalnya,
memutuskan apa yang ingin mereka pelajari); c) Memberikan murid kesempatan
untuk berpartisipasi aktif dalam kelas; d) Memberikan murid kesempatan untuk menilai
diri sendiri dan terlibat dalam proses penilaian (misalnya, melibatkan murid
dalam mendiskusikan kriteria rubrik proyek yang baik).
Voltz DL, Damiano-Lantz
M. dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing Ownership in Learning. Teaching
Exceptional Children (1993;18) menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar (ownership
in learning) sebenarnya mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif,
dan investasi pribadi seseorang dalam proses belajar.
Merujuk pada pendapat
tentang konsep kepemilikan, dapat dikatakan bahwa, saat murid terhubung (baik secara
fisik, kognitif, emosional) dengan apa yang sedang dipelajari, terlibat aktif, dan
menunjukkan investasi pribadi dalam proses belajarnya, maka kita dapat
mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka terhadap proses belajar
tinggi.
Berikut ini adalah
beberapa contoh mempromosikan “kepemilikan murid”: a) Merespon dan
menindaklanjuti masukan dan umpan balik dari murid; b) Meminta pendapat murid
untuk menentukan bentuk penugasan; c) menciptakan lingkungan belajar di mana murid
dapat menetapkan tujuan belajar dan kriteria keberhasilan mereka sendiri, dan memantau
dan menyesuaikan pembelajaran mereka; d) secara terus menerus tunjukkan kepada
murid bagaimana mereka dapat menjadi pembelajar yang lebih baik dari hari ke hari,
misalnya dengan belajar untuk menerima kesalahan. Berbagilah dengan murid-murid
kita bagaimana terkadang kita membuat kesalahan dan bagaimana kita kemudian belajar
dari kesalahan tersebut. Dengan cara ini, murid akan selalu merasa diterima. tidak
dituntut sempurna, sehingga merasa nyaman dalam proses pembelajarannya; e) Menanyakan
kepada murid apa yang mereka ketahui tentang topik yang akan dipelajari atau mendiskusikan
pengalaman murid tentang topik tersebut, dan mengkoneksikannya dengan
pembelajaran yang akan dilakukan; f) Memosting ide siswa (dengan seizin murid sebagai
bagian dari menghargai dan menghormati kepemilikan murid); g) Mengajak murid
mengatur layout kelas mereka sendiri; h) Mengkondisikan lingkungan fisik yang
mendukung kepemilikan. Misalnya membuat papan buletin, yang dapat digunakan
murid untuk menampilkan informasi tentang pekerjaan mereka, kesuksesan mereka,
dsb; i) Mengajak murid untuk mengatur kelas mereka sendiri; j) Memajang
pekerjaan-pekerjaan murid di kelas; k) Melakukan penilaian diri sendiri (self
assessment); l) Membuat sudut murid di salah satu bagian sekolah, kemudian
memberikan jadwal untuk setiap kelas untuk melakukan sesuatu di sudut tersebut;
m) Memberi kesempatan murid membawa sumber-sumber pembelajaran yang mungkin
mereka miliki dan meminta mereka berbagi.
Bagaimana Lingkungan
yang Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid ? Sebagaimana padi yang hanya akan tumbuh
subur pada lingkungan yang sesuai, maka kepemimpinan murid pun akan tumbuh dengan
lebih subur jika sekolah dapat menyediakan lingkungan yang cocok. Lingkungan yang
menumbuhkembangkan kepemimpinan murid adalah lingkungan di mana guru, sekolah,
orangtua, dan komunitas secara sadar mengembangkan wellbeing atau kesejahteraan
diri murid-muridnya secara optimal.
Noble
et al (2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan siswa yang optimal adalah sebuah keadaan
emosional yang berkelanjutan yang dicirikan dengan (terutama) suasana hati dan
sikap yang positif, hubungan positif dengan murid lain maupun guru, daya
lenting atau ketangguhan, pengoptimalan kekuatan diri, serta tingkat kepuasan
yang tinggi terhadap pengalaman belajar mereka di sekolah Menyadur apa yang disampaikan
oleh Noble tersebut, maka lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid
akan memiliki beberapa karakteristik, di antaranya adalah:
1.
Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola pikir
positif dan merasakan emosi yang positif. Lingkungan yang seperti ini akan membuat
murid mampu dan berkeinginan untuk melakukan hal-hal secara positif untuk dirinya
sendiri serta memberikan pengaruh positif kepada kehidupan orang lain dan
sekelilingnya. Pola pikir positif ini didapatkan oleh murid melalui pengalaman
emosi positif dalam konteks sekolah, di mana murid bukan hanya merasa aman,
nyaman, dan merasa menjadi bagian dari komunitas sekolah, namun juga didapat
dari adanya keadaan di mana murid merasakan keselarasan antara kebutuhan dan
harapannya terhadap sekolah dan lingkungannya dengan pengalaman belajar yang didapatnya
di sekolah. Lewat pengalaman emosi positif ini, murid akan mampu mengembangkan keterampilan
inkuiri, menunjukkan sikap gembira, penuh syukur, saling mengapresiasi. Mereka memiliki
kesadaran diri, sikap optimis sehingga dapat berperan aktif dan membuat perbedaan
yang positif baik untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan
sekitarnya.
2.
Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif,
arif dan bijaksana, di mana murid akan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial
positif yang berbasis pada nilai-nilai kebajikan yang dibangun oleh sekolah. Di
dalam lingkungan yang seperti ini, nilai-nilai tersebut kemudian akan mewujud
menjadi atmosfer sekolah yang positif, di mana hubungan dan interaksi sosial
yang terjalin di antara para murid, guru, orang tua maupun seluruh komunitas
yang terkait akan terasa sangat positif dan kontributif.
3.
Lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam proses
pencapaian tujuan akademik maupun non-akademiknya. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk
memiliki determinasi diri yang kuat dalam
proses pembelajaran, baik dalam aspek akademik maupun non-akademik.
Dalam lingkungan ini, murid akan belajar tentang nilai-nilai ketekunan serta
kerja keras. Murid akan belajar untuk mampu melihat sejauh mana kemajuan proses
belajarnya. Murid mampu mengerjakan tugas sekolahnya secara mandiri, memiliki
pemahaman yang benar dan cakap sehingga berhasil mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
4.
Lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama,
serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang seperti ini akan
membantu murid untuk dapat menerapkan dan mempergunakan apa yang menjadi kekuatan
dirinya dan memanfaatkan serta menerapkannya dalam berbagai konteks yang
berbeda-beda.
5.
Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti
tujuan, harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampaui pemenuhan
kepentingan individu, kelompok, maupun golongan. Lingkungan yang seperti ini
akan memberikan kesempatan bagi murid untuk melihat dirinya sebagai bagian dari
sesuatu yang jauh lebih besar di luar dirinya. Lingkungan ini akan memberikan peluang
bagi murid untuk belajar melalui pelayanan kepada masyarakat dan komunitas di mana
mereka akan dapat terus mengasah rasa kemanusiaan, kepedulian, dan rasa cinta
kasih.
6.
Lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam
proses belajarnya sendiri. Lingkungan yang seperti ini akan menyediakan berbagai
kegiatan belajar yang menarik, menantang, dan bermakna, di mana dalam prosesnya
murid akan merasa senang hati dan menikmati setiap momen pembelajarannya.
7.
Lingkungan yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus
bangkit di tengah kesempitan dan kesulitan. Lingkungan ini akan membantu murid
untuk berani menerima tantangan, berjiwa besar, dan selalu bangkit lagi dan berusaha mencari solusi bila menemui
kegagalan. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk selalu mengambil
pelajaran dari setiap kegagalan-kegagalan yang dijumpainya dan berusaha untuk menemukan
cara-cara alternatif atau cara yang paling tepat.
Dalam
rangka mewujudkan lingkungan belajar yang dapat menumbuhkan kepemimpinan murid,
maka guru dan sekolah tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Mereka akan
memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari komunitas. Di dalam
bahasan selanjutnya di bawah ini, kita akan membahas bagaimana peran keterlibatan
komunitas dalam menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.
No comments
Post a Comment