Salah satu simpulan yang tersirat dari diskusi pelaksanaan Sekolah Penggerak adalah bahwa Pendekatan Berbasis Aset dan Pendekatan Berbasis Kekurangan (Masalah) bukan sesuatu yang harus dipertentangkan namun keduanya dapat digunakan. Pendekatan Berbasis masalah atau kekurangan dapat digunakan pada saat seorang (guru, kepala sekolah) ataupun sekolah ingin mengetahui faktor-faktor penyebabnya program yang dilaksanakan belum tercapai. Sedangkan pendekatan berbasis asset digunakan ketika seorang (guru, kepala sekolah) ataupun sekolah berkeinginan untuk mengatasi persoalan-persoalan (masalah-masalah) yang muncul agar program-program sekolah dapat dilaksanakan secara maksimal.
Jadi ketika kita ingin
mengetahui faktor penyebab belum berhasilnya program dengan baik maka kita
gunakan pendekatan berbasis masalah atau kekurangan. Namun apabila kita ingin mengatasinya
maka kita gunakan Pendekatan Berbasis Aset atau Asset-Based Community Development.
Mari kita kembali memahami
salah satu materi Lokakarya Sekolah Penggerak tentang endekatan Berbasis Aset dan
Pendekatan Berbasis Kekurangan (Masalah).
1)
Sekolah Sebagai Ekosistem
Ekosistem merupakan sebuah
tata interaksi antara makhluk hidup dan unsur yang tidak hidup dalam sebuah
lingkungan. Sebuah ekosistem mencirikan satu pola hubungan yang saling
menunjang pada sebuah teritorial atau lingkungan tertentu. JIka diibaratkan sebagai
sebuah ekosistem, sekolah adalah sebuah bentuk interaksi antara faktor biotik
(unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini saling
berinteraksi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang selaras
dan harmonis. Dalam ekosistem sekolah, faktor-faktor biotik akan saling
memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Faktor-faktor
biotik yang ada dalam ekosistem sekolah di antaranya adalah:
·
Murid
·
Kepala Sekolah
·
Guru
·
Staf/Tenaga Kependidikan
·
Pengawas Sekolah
·
Orang Tua
·
Masyarakat sekitar sekolah
·
Dinas terkait
·
Pemerintah daerah
Selain faktor-faktor biotik yang
sudah disebutkan, faktor-faktor abiotik yang juga berperan aktif dalam menunjang
keberhasilan proses pembelajaran di antaranya adalah:
·
Keuangan
·
Sarana dan prasarana
·
Lingkungan alam
2) Pendekatan Berbasis Aset
dan Pendekatan Berbasis Kekurangan (Masalah)
Pendekatan dapat dikatakan sebagai
cara pandang atau cara berpikir kita melihat sesuatu. Pendekatan berbasis aset atau
berbasis defisit berarti bagaimana kita memandang sumber daya sekolah, apakah dianggap
sebagai aset/kekuatan atau kekurangan/masalah. Pendekatan berbasis
kekurangan/masalah (deficit-based approach) akan memusatkan perhatian kita pada
apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak berfungsi dengan baik.
Kita mengeluhkan banyak fasilitas sekolah yang tidak berfungsi baik, buku ajar
yang tidak lengkap, atau sekolah yang tidak tidak memiliki laboratorium.
Kekurangan yang dimiliki mendorong
cara berpikir negatif sehingga fokus kita adalah bagaimana mengatasi semua kekurangan
atau apa yang menghalangi tercapainya kesuksesan yang ingin diraih. Semakin
lama, secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang tidak nyaman dan curiga
yang dapat menjadikan kita buta terhadap potensi dan peluang yang ada di
sekitar.
Pendekatan berbasis aset (asset-based
approach) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer,
seorang ahli psikologi yang menekuni kekuatan berpikir positif untuk pengembangan
diri. Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukenali hal-hal yang positif dalam
kehidupan. Dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, kita diajak untuk
memusatkan perhatian pada apa yang berjalan dengan baik, yang menjadi
inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif.
Green & Haines (2010)
menjelaskan kecenderungan cara pandang yang menggunakan pendekatan berbasis
kekurangan dengan pendekatan berbasis aset seperti yang dapat dilihat dari
tabel di bawah ini.
No |
Berbasis
pada kekurangan/
masalah/ hambatan |
Berbasis
pada aset/kekuatan |
1 |
Fokus
pada masalah dan isu |
Fokus
pada aset dan kekuatan |
2 |
Berkutat
pada masalah utama |
Membayangkan
masa depan |
3 |
Mengidentifikasi
kebutuhan dan kekurangan – selalu bertanya apa yang kurang? |
Berpikir
tentang kesuksesan yang telah diraih
dan kekuatan untuk mencapai kesuksesan tersebut. |
4 |
Fokus
mencari bantuan dari sponsor atau institusi lain |
Mengorganisasikan
kompetensi dan sumber daya (aset dan kekuatan) |
5 |
Merancang
program atau proyek untuk menyelesaikan masalah |
Merancang
sebuah rencana berdasarkan visi
dan kekuatan |
6 |
Mengatur
kelompok yang dapat melaksanakan proyek |
Melaksanakan
rencana aksi yang sudah diprogramkan |
Pendekatan berbasis aset ini
juga digunakan sebagai dasar paradigma Inkuiri Apresiatif (IA), dimana
paradigma IA ini percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan
kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi.
Dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan
yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi
menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.
Menurut Cooperrider &
Whitney (2005), Inkuiri Apresiatif adalah suatu filosofi, landasan berpikir, yang
berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif dalam diri seseorang, organisasi,
dan dunia sekitarnya, baik dari masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Merekapun
mengatakan bahwa saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat
melihat dan mengungkap hal yang baik dan benar. Mata yang mampu membukakan kemungkinan
perbaikan dan memberikan apresiasi atas hal yang sudah berjalan baik. Bila
sebuah organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka
kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat
dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan
3) Pendekatan ABCD
(Asset-Based Community Development)
Asset-Based Community
Development (ABCD) yang selanjutnya akan kita sebut dengan Pengembangan
Komunitas Berbasis Aset (PKBA) merupakan suatu kerangka kerja yang dikembangkan
oleh John McKnight dan Jody Kretzmann, di mana keduanya adalah pendiri dari
ABCD Institute di Northwestern University, Amerika Serikat ABCD dibangun dari kemampuan,
pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki oleh anggota komunitas,
kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari lembaga lokal untuk
menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan (Kretzman, 2010).
Pendekatan Pengembangan Komunitas
Berbasis Aset (PKBA) muncul sebagai kritik terhadap pendekatan konvensional atau
tradisional yang menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan yang ada pada
suatu komunitas. Pendekatan tradisional tersebut menempatkan komunitas sebagai penerima
bantuan, dan dengan demikian dapat menyebabkan anggota komunitas menjadi merasa
tidak berdaya, pasif, dan selalu bergantung dengan pihak lain.
Pendekatan PKBA menekankan pada
nilai, prinsip dan cara berpikir mengenai dunia. Pendekatan ini memberikan nilai
lebih pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki
oleh komunitas. Dengan demikian pendekatan ini melihat komunitas sebagai
pencipta dari kesehatan dan kesejahteraan, bukan sebagai sekedar penerima
bantuan. Pendekatan PKBA menekankan dan mendorong komunitas untuk dapat
memberdayakan aset yang dimilikinya serta membangun keterkaitan dari aset-aset tersebut
agar menjadi lebih berdaya guna. Kedua peran yang penting ini menurut Kretzman
(2010) adalah jalan untuk menciptakan warga yang produktif.
Pendekatan PKBA menekankan
kepada kemandirian dari suatu komunitas untuk dapat menyelesaikan tantangan
yang dihadapinya dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada di dalam diri
mereka sendiri, dengan demikian hasil yang diharapkan akan lebih berkelanjutan.
Pendekatan PKBA berfokus pada
potensi aset/sumber daya yang dimiliki oleh sebuah komunitas, dimana selama ini
komunitas sibuk pada strategi mencari pemecahan pada masalah yang sedang dihadapi.
PKBA merupakan pendekatan yang digerakkan oleh seluruh pihak yang ada di dalam sebuah
komunitas atau disebut sebagai community-driven development. Di dalam buku
‘Participant Manual of Mobilizing Assets for Community-driven Development’,
Cunningham (2012) menuliskan bahwa Community-driven Development adalah proses dimana
sekelompok orang (dalam suatu kegiatan, organisasi, atau lingkungan) yang dimotivasi
oleh peluang yang ada akan melakukan suatu usaha hanya dengan menggunakan sumber
daya mereka sendiri (minimal pada awalnya). Seorang pemimpin akan berperan sebagai
fasilitator dalam menggerakkan dan memimpin komunitasnya.
Sekolah bisa kita pandang
sebagai sebuah komunitas. Karena itu, sekolah dapat belajar tentang bagaimana
menjadi komunitas yang sehat dan tangguh. Bank of I.D.E.A.S (2014) menyebut bahwa
karakteristik komunitas yang sehat dan resilien adalah sebagai berikut:
1.
Mempraktikkan dialog berkelanjutan dan partisipasi anggota masyarakat, yaitu
perilaku yang menghargai keragaman dan mendorong dialog penduduk yang aktif, partisipasi
dan kepemilikan masyarakat atas masa depan. Apabila kita aplikasikan ke sekolah
bagaimana dialog berkelanjutan terjadi yang sekaligus mendorong perilaku yang menghargai
keragaman antar warga sekolah demi masa depan murid-murid.
2.
Menumbuhkan komitmen terhadap tempat, yaitu perilaku akan memperkuat koneksi
warga baik komunitas, lingkungan, dan ekonomi lokal mereka. Apabila
diaplikasikan ke sekolah, bagaimana memperkuat komitmen warga sekolah untuk
saling bergotong royong demi kemajuan murid-murid.
3.
Membangun koneksi dan kolaborasi, yaitu perilaku yang mendorong perencanaan dan
tindakan kolaboratif, jaringan dan hubungan yang kuat antara penduduk,
organisasi, bisnis, dan komunitas. Jika diaplikasikan ke sekolah, maka sekolah harus
mendorong perencanaan dan tindakan dilakukan secara kolaboratif. Hubungan dan jejaring
antara warga sekolah, masyarakat sekitar, organisasi yang ada, dan aset lainnya
juga harus terjalin. Membangun dan membina hubungan antara warga sekolah,
seperti hubungan guru-guru, guru – kepala sekolah, guru – murid – guru, guru –
staf sekolah – guru, staf sekolah – murid – staf sekolah, ataupun kepala
sekolah – murid – kepala sekolah menjadi sangat penting untuk membangun sekolah
yang sehat dan inklusif.
4.
Mengenal dirinya sendiri dan membangun aset yang ada, yaitu perilaku yang
menemukan, memetakan, menghubungkan, dan memanfaatkan sumber daya seluruh komunitas
yang ada. Sekolah harus dibangun dengan melihat pada kekuatan, potensi, dan tantangan.
Kita harus bisa fokus pada pembangunan sumber daya yang tersedia, kapasitas
yang kita miliki, serta kekuatan dan aspirasi yang sudah ada.
5.
Membentuk masa depannya, yaitu perilaku yang memungkinkan visi komunitas
bersama tentang masa depan, sebagaimana tercermin dalam tujuan praktis
komunitas, rencana aksi, dan peringkat prioritas, ditambah dengan keinginan untuk
tidak membahayakan kesejahteraan generasi mendatang. Sekolah menciptakan visi sebagai
perwakilan dari cita-cita yang ingin diwujudkan pada murid-muridnya.
6.
Bertindak dengan obsesi ide dan peluang, yaitu perilaku yang mendorong
pencarian tanpa akhir untuk ide-ide baru dan tepat, kemungkinan pengembangan dan
sumber daya internal dan eksternal. Dalam setiap unsur sekolah, pasti ada
sesuatu yang berhasil. Dari pada menanyakan “Ada masalah apa?” dan “Bagaimana
memperbaikinya?”, lebih baik bertanya “Apa yang telah berhasil dilakukan?” dan
“Bagaimana mengupayakan agar lebih baik lagi?”
7.
Merangkul perubahan dan bertanggung jawab, yaitu perilaku yang memperkuat
kemampuan masyarakat untuk mengatasi perubahan dan pulih dari krisis, pola
pikir yang berfokus pada optimisme, harapan, dan yakin bahwa 'kita bisa
melakukannya'. Titik awal perubahan pada sekolah selalu pada perubahan pola
pikir (mindset) dan sikap yang positif.
8.
Menghasilkan kepemimpinan, yaitu perilaku yang terus-menerus memperluas dan
memperbaharui kapasitas kepemimpinan masyarakat. Faktor utama dalam perubahan yang
berkelanjutan di sekolah adalah kepemimpinan lokal dan pengembangan dan
pembaharuan kepemimpinan itu secara terus menerus.
4) Aset –Aset dalam Sebuah
Komunitas (Aset-aset Sekolah)
Apa
saja aset sekolah sebagai sebuah komunitas ? Sebagai sebuah
komunitas, sekolah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya sama seperti
komunitas pada umumnya. Pemanfaatan sumber daya yang dimiliki sekolah dapat
memanfaatkan konsep yang digunakan pada pendekatan pengembangan komunitas
berbasis aset.
Mengcupada kerangka dari
Green dan Haines (2016), yang memetakan 7 aset utama, atau di dalam buku ini disebut
sebagai modal utama. Tujuh modal utama ini merupakan salah satu alat yang dapat
membantu menemukenali sumber daya yang menjadi aset sekolah. Dalam pemanfaatannya,
ketujuh aset ini dapat saling beririsan satu sama lain. Misalnya modal budaya dapat
beririsan dengan modal agama. Selengkapnya kita bisa pelajari berikut ini.
a. Modal Manusia
Sumber
daya manusia yang berkualitas, investasi pada sumber daya manusia menjadi sangat
penting yang berhubungan dengan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan harga
diri seseorang.Pemetaan modal atau aset individu merupakan kegiatan menginventaris
pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan yang dimiliki setiap warganya dalam
sebuah komunitas, atau dengan kata lain, inventarisasi perorangan dapat
dikelompokkan berdasarkan sesuatu yang berhubungan dengan hati, tangan, dan
kepala.
Pendekatan
lain mengelompokkan aset atau modal ini dengan melihat kecakapan seseorang yang
berhubungan dengan kemasyarakatan, contohnya kecakapan memimpin sekelompok orang,
dan kecakapan seseorang berkomunikasi dengan berbagai kelompok. Kecakapan yang berhubungan
dengan kewirausahaan, contohnya kecakapan dalam mengelola usaha, pemasaran, yang
negosiasi. Kecakapan yang berhubungan dengan seni dan budaya, contohnya kerajinan
tangan, menari, bermain teater, dan bermain musik.
b. Modal Sosial
Modal
sosial dimaknai sebagai norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang
ada di dalamnya dan mengatur pola perilaku warga, juga unsur kepercayaan (trust)
dan jaringan (networking) antara unsur yang ada di dalam komunitas/masyarakat. Ini
juga dapat dimaknai sebagai investasi yang berdampak pada bagaimana manusia, kelompok,
dan organisasi dalam komunitas hidup berdampingan, contohnya adanya
kepemimpinan, kerjasama, saling percaya, dan rasa memiliki masa depan yang
sama.
Contoh-contoh
yang termasuk dalam modal sosial antara lain adalah asosiasi. Asosiasi adalah
suatu kelompok yang ada di dalam komunitas masyarakat yang terdiri atas dua
orang atau lebih yang bekerja bersama dengan suatu tujuan yang sama dan saling berbagi
untuk suatu tujuan yang sama. Asosiasi terdiri atas kegiatan yang bersifat formal
maupun nonformal. Beberapa contoh tipe asosiasi adalah berdasarkan keyakinan,
kesamaan profesi, atau kesamaan hobi. Terdapat beberapa macam bentuk modal sosial,
yaitu fisik (lembaga), misalnya asosiasi dan institusi. Institusi adalah suatu
lembaga yang mempunyai struktur organisasi yang jelas dan biasanya sebagai salah
satu faktor utama dalam proses pengembangan komunitas masyarakat.
c. Modal Politik
Modal
politik tidak hanya dimaknai sebagai sebuah aktivitas demokratis alam tataran politik
praktis tapi merupakan kemampuan kelompok untuk memengaruhi distribusi sumber
daya di dalam unit sosial. Sebagai kendaraan dalam mencapai tujuan, modal politik
berkaitan dengan kekuasaan dan kebijakan. Modal politik juga menjadi sebuah
instrumen melalui sumber daya manusia yang dapat memengaruhi kebijakan untuk mencapai
kepentingan. Selain itu, modal politik dapat bersifat struktural apabila
merujuk pada atribut-atribut dalam sistem politik yang menajamkan partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Modal politik sebagai sebagai salah satu aset sekolah dapat
digunakan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada peningkatan
kualitas pembelajaran. Misalkan seorang kepala sekolah dengan kewenangan yang
dimilikinya, menggunakan kewenangannya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mengakomodir
kepentingan warga sekolah dan peningkatan kualitas pembelajaran yang berpihak
pada murid.
d.
Modal agama dan budaya
Agama
merupakan suatu sistem berperilaku yang mendasar, dan berfungsi untuk
mengintegrasikan perilaku individu di dalam sebuah komunitas, baik perilaku
lahiriah maupun simbolik. Agama menuntut terbentuknya moral sosial yang bukan
hanya kepercayaan, tetapi juga perilaku atau amalan.
Kebudayaan
merujuk pada hasil cipta dan karya manusia yang unik yang lahir dari serangkaian
ide, gagasan, norma, perilaku, serta benda. Modal budaya dijelaskan dari tiga
hal, yaitu keadaan yang melekat dan mewujud, seperti nilai dan tradisi yang dianut
dan berkembang dalam masyarakat; keadaan konkret hasil cipta dan karya, seperti
lukisan, buku, mesin, kerajinan tangan, dan semua benda yang dihasilkan oleh manusia
sebagai bentuk kreativitas; dan sebuah bentuk yang dapat dipelajari melalui
kualifikasi akademik, yaitu sekolah.
Identifikasi
dan pemetaan modal budaya dan agama merupakan langkah yang sangat penting untuk
melihat keberadaan kegiatan dan ritual kebudayaan dan keagamaan dalam suatu komunitas,
termasuk kelembagaan dan tokoh-tokoh penting yang berperan langsung atau tidak
langsung di dalamnya.
Sangat
penting kita mengetahui sejauh mana keberadaan ritual keagamaan dan kebudayaan
yang ada di masyarakat serta pola relasi yang tercipta di antaranya dan selanjutnya
bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk menunjang pengembangan perencanaan dan
kegiatan bersama.
e.
Modal Fisik
Terdiri
atas dua kelompok utama, yaitu: 1) Bangunan yang bisa digunakan untuk kelas atau
lokasi melakukan proses pembelajaran, laboratorium, pertemuan, ataupun
pelatihan; 2) Infrastruktur atau sarana prasarana, mulai dari saluran pembuangan,
sistem air, mesin, jalan, jalur komunikasi, sarana pendukung pembelajaran, alat
transportasi, dan lain-lain.
f.
Modal Lingkungan/alam
Bisa
berupa potensi yang belum diolah dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dalam upaya
pelestarian alam dan juga kenyamanan hidup. Modal lingkungan terdiri dari bumi,
udara yang bersih, laut, taman, danau, sungai, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.
Tanah untuk berkebun, danau atau empang untuk berternak, semua hasil dari pohon
seperti kayu, buah, bambu, atau material bangunan yang bisa digunakan kembali.
g.
Modal Finansial
Dukungan
keuangan yang dimiliki oleh sebuah komunitas yang dapat digunakan untuk membiayai
proses pembangunan dan kegiatan sebuah komunitas. Modal finansial termasuk tabungan,
hutan, investasi, pengurangan dan pendapatan pajak, hibah, gaji, serta sumber
pendapatan internal dan eksternal. Modal finansial juga termasuk pengetahuan
tentang bagaimana menanam dan menjual sayur di pasar, bagaimana menghasilkan
uang dan membuat produk-produk yang bisa dijual, bagaimana menjalankan usaha kecil,
bagaimana memperbaiki cara penjualan menjadi lebih baik, dan juga bagaimana
melakukan pembukuan.
Demikian penjelasan singkat
tentang cara pandang Pendekatan Berbasis
Aset dan Pendekatan Berbasis Kekurangan (Masalah). Mari kita gunakan
pendekatan berbasis kekurangan (masalah) untuk mengetahui, dan menggunakan Pendekatan Berbasis Aset untiuk
mengatasi segala permasalahan yang ada di sekolah kita. Tidak ada kata tidak
bisa untuk memajukan sekolah kita jika kita mau menggunakan Pendekatan Berbasis Aset.
No comments
Post a Comment